Selasa, 15 Juli 2008

३४ पर्पोल इकुत पेमिलू २००९

Pemilu 9 April 2009 bakal diikuti 34 partai politik. Eforia politik mendirikan parpol ternyata tidak kunjung surut meski reformasi telah menginjak usia 10 tahun.
Dibandingkan dengan Pemilu 5 April 2004 yang diikuti 24 parpol, Pemilu 2009 lebih ramai, dan mungkin rumit, karena parpol peserta pemilu lebih banyak. Adapun pemilu pertama pada masa reformasi 7 Juni 1999 diikuti 48 parpol.
Dari 34 parpol peserta Pemilu 9 April 2009, 16 parpol adalah parpol peserta Pemilu 2004 yang mempunyai kursi di DPR, sebanyak 18 parpol lainnya adalah parpol baru atau parpol yang mengubah namanya, tetapi dengan pengurus wajah lama.
Survei terakhir yang dilakukan Indo Barometer yang dirilis Rabu (9/7) paling tidak memberikan gambaran bagaimana pemahaman publik terhadap parpol. Survei menunjukkan mayoritas publik tidak bisa membedakan satu partai dengan partai lain, tidak bisa membedakan satu pemimpin partai dengan pemimpin partai lain, tidak bisa membedakan kebijakan politik dan ekonomi satu partai dengan partai lain. Padahal, survei itu baru dilakukan terhadap 24 parpol pada Desember 2007, belum terhadap 34 parpol yang baru saja diumumkan.
Kita juga mendapat kesan yang sama. Tidak ada perbedaan yang nyata antara satu parpol dan parpol yang lain. Tidak ada perbedaan yang konkret pada platform maupun misi dan visi setiap parpol. Dalam pemahaman seperti itu, kita bisa memahami bahwa banyaknya parpol hanyalah menciptakan sebuah kebingungan di tengah masyarakat.
Cara pandang masyarakat yang tercipta seperti itu tak bisa sepenuhnya disalahkan. Praksis politik dalam Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 yang diikuti banyak parpol terbukti tidak membawa perubahan signifikan bagi kehidupan masyarakat banyak. Selain sering dikritik tidak kompatibel dengan sistem pemerintahan presidensial, banyaknya parpol masih dirasakan publik mengganggu efektivitas jalannya pemerintahan.
Mengacu pada data Pemilu 2004, dari 24 parpol peserta pemilu, hanya delapan parpol yang mampu melewati angka parliamentary threshold sebesar 2,5 persen. Sementara berdasarkan UU No 10/2008, diatur hanya parpol yang minimal memperoleh 2,5 persen suara secara nasionallah yang boleh mengirimkan wakilnya ke DPR. Di sini kita mengkhawatirkan makin banyak suara rakyat yang terbuang.
Di tengah sentimen negatif masyarakat terhadap parpol, serta kondisi masyarakat yang terbelit problem ekonomi, masa kampanye tertutup dan terbuka selama sembilan bulan (12 Juli 2008 hingga 5 April 2009) menjadi momentum penting bagi parpol untuk memasarkan diri, memberikan jawaban konkret terhadap problem besar yang dihadapi bangsa.
Saatnya eforia politik diganti dengan sikap politik penuh keprihatinan terhadap nasib bangsa, dan bukan semata-mata politik demi kekuasaan. Saatnya kualitas lebih mengemuka daripada hanya kuantitas.

Tidak ada komentar:

lOpo MarSuO